Senin, 15 Februari 2010

SEJARAH NEGARA HUKUM


Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Selain itu Pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri (Sobirin Malian, 2001: 25) dan pemikiran tentang negara hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual (A. Ahsin Thohari, 2004: 48).

Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 s.M. (J.J. von Schmid, 1988: 7). Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani kuno. Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum (Jimly Asshiddiqie, 1994: 11).

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia.

Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno, seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M). Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum, (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74). Dalam Nomoi, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan, pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum, (Budiono Kusumohamidjojo, 2004: 36-37).
Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 153). Gagasan Plato tentang negara hukum semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang negara hukum. Aristotoles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Dalam negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.

Ide negara hukum menurut Aristoteles ini, tampak sangat erat dengan “keadilan”, bahkan suatu negara akan dikatakan sebagai negara hukum apabila suatu keadilan telah tercapai. Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk negara hukum dalam arti “ethis” dan sempit, karena tujuan negara semata-mata mencapai keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori-teori ethis, sebab menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa. Dalam kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengemukakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 153). Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir beberapa puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara hukum sesudah Masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, seperti dikemukakan oleh beberapa ahli.

Jean Bodin (1530-1596) juga menganjurkan absolutisme raja. Raja harus mempunyai hak mutlak membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Kedaulatan itu puissance absolute atau kekuasaan mutlak yang terletak di dalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh undang-undang. Karena yang membuat undang-undang itu raja, maka tidak mungkin pembuatnya diikat oleh buatannya sendiri. Akan tetapi berlawanan dengan Machiavelli, Jean Bodin mengatakan bahwa raja itu terikat dengan hukum alam. Lebih lanjut Jean Bodin memandang kekuasan yang terpusat pada negara yang makin lama makin tegas tampak dalam bentuk kekuasaan raja. Karena itu disimpulkannya, bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan, yaitu kekuasaan raja yang superior, (Theo Huijber, 1995: 57).

Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa manusia sebelum hidup dalam lingkungan masyarakat bernegara, hidup dalam alam. Dalam keadaan alami itu manusia mempunyai hak alami yang utama, yaitu hak utama mempertahankan diri sendiri. Dalam situasi demikian itu manusia merupakan musuh bagi manusia lainnya dan siap saling menerka seperti serigala, akibatnya ialah merajalelanya peperangan semuanya melawan semuanya. Namun, dibimbing oleh akalnya manusia mengerti bahwa bila keadaan yang demikian itu diteruskan, semuanya akan binasa. Oleh karena itu manusia lalu bergabung memilih penguasa yang menjamin hukum malalui suatu perjanjian sosial. Dalam teori Hobbes, perjanjian masyarakat tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang diserahkan kepada raja. Raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak. (Theo Huijber, 1995: 57)
Dikemukakan di atas beberapa ahli yang secara ekstrim menyatakan pendapatnya untuk membenarkan sistem pemerintahan yang bersifat absolut guna diterapkan dalam kehidupan bernegara. Memang apabila ditelusuri lebih jauh pandangan ini, tentu kita akan melihat bahwa konsepsi mereka dilatarbelakangi oleh adanya situasi negara yang buruk di masa mereka hidup. Sehingga bagi mereka, negara atau penguasa yang kuat diperlukan untuk mengatasi peperangan yang terjadi waktu itu.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. John Locke (1632-1704) mengemukakan, kekuasaan raja harus dibatasi oleh suatu “leges fundamentalis”.

Namun perlu dicatat bahwa perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, di antaranya:

1) Reformasi;

2) Renaissance;

3) Hukum Kodrat;

4) Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung). (Theo Huijber, 1995: 57).

Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya negara hukum.

Di Inggris, perlawanan masyarakat terhadap negara (Monarchi Absolutis) telah lama berjalan (sebelum John Locke menuliskan teorinya tentang negara dan hukum dalam buku “Two treatises of civil government”, 1690) terjelma dalam pertikaian terus menerus antara “King dan Parliament”, yang melahirkan piagam-piagam di mana diakui hak-hak asasi bangsa Inggris, yaitu:

1) Magna Charta (1215);

2) Petition of Rights (1628);

3) Habeas Corpus Act (1679);

4) Bill of Rights (1689).

Pada umumnya kemenangan ada di pihak masyarakat, monarki absolut tidak dapat berkembang, sedangkan Parlemen langkah demi langkah membesarkan pengaruhnya. Dalam karya Locke muncul beberapa prinsip hukum yang berlaku dalam negara hukum modern, yakni asas yang ada hubungannya dengan organisasi negara hukum. (Theo Huijber, 1995: 79-83).

Di Prancis, dipelopori antara lain Charles Louis de Scondat, Baron de La Brede et de La Montesquieu (1688-1775) dan Jean Jacques Rousseau (1746-1827), Renaissance dan Reformasi berkembang dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi manusia di Perancis itu memuncak dalam revolusi Perancis pada tahun 1789, yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam “Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen”, yang pada tahun itu ditetapkan oleh “Assemblee National” Prancis, dan pada tahun berikutnya dimasukkan ke dalam Constitution. Sedangkan di Amerika Serikat sebelumnya, yaitu pada tanggal 4 Juli 1776 sudah dirumuskan dalam “Declaration of Independent”. Dengan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka kekuasaan absolut dari raja lama kelamaan semakin susut dan bersama-sama dengan itu kebutuhan akan negara hukum makin mantap. (Theo Huijber, 1995: 87-93).

Pada babak sejarah kini, sulit untuk membayangkan negara tidak sebagai negara hukum. Setiap Negara yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI setidaknya secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan. Budiono Kusumohamidjojo, 2004: 36-37)
Lebih lanjut para ahli yang menganut faham kedaulatan berpendapat bahwa hukum bukanlah semata-mata apa yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum (dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumberkan perasaan hukum anggota-anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta hukum. negara hanya memberi bentuk pada perasaan ini. Hanya apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum, (F Isjwara, 1974: 99).
Hugo Krabbe sebagai salah seorang ahli yang mempelopori aliran ini berpendapat bahwa negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat) dan setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan pada hukum. Kalau diperhatikan lebih jauh ke belakang, konsep kedaulatan yang didasarkan pada hukum ini adalah suatu reaksi atas prinsip ajaran kedaulatan negara. Menurut teori kedaulatan negara, segala sesuatu dijalankan dalam setiap kebijaksanaan negara, karena negara diberi kekuasaan yang tidak terbatas. Para penganut paham ini beranggapan bahwa hukum tidak lain dari kemauan negara itu sendiri yang dikonkretkan. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli menganggap bahwa paham kedaulatan negara tidak sesuai dengan kenyataan.

Pada akhirnya berpaling ke supremasi hukum sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Aliran ini lebih memperhatikan realitas dengan menyataan-kenyataan sejarah. Bahkan lebih ekstrim lagi kita melihat prinsip negara dan hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen (1881-1973) yang mengatakan bahwa pada hahekatnya negara adalah identik dengan hukum, karena itu tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib negara.
Pandangan Hans Kelsen tersebut paling ekstrim di antara pengikut paham kedaulatan hukum. Bahkan beranggapan bahwa negara semata-mata konstruksi hukum belaka, karena itu Kelsen mendapat kritikan-kritikan yang tidak henti-hentinya dari ahli-ahli lain, terutama dari para sosiolog, karena ia dianggap anti sosiologi. Hans Kelsen dianggap meremehkan peranan dan manfaat sosiologi di dalam penelaahannya mengenai negara. Disadari bahwa negara bukanlah semata-mata menjadi objek hukum sendiri atau negara tidak mutlak identik dengan hukum seperti pendapat Kelsen. Tetapi selain ilmu hukum, masih banyak disiplin ilmu lain yang menjadikan negara sebagai objek pembahasan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu politik, ilmu pemerintahan, sosiologi danilmu lainnya.

Meskipun ide tentang negara hukum telah lama diungkapkan oleh para ahli, namun dipandang dari segi penggunaan istilah “negara hukum”, istilah tersebut baru mulai tampil dalam abad XIX seperti yang dikembangkan Albert Venn Dicey dengan konsep negara hukum Rule of Law di negara Anglo Saxon, dan Frederich Julius Stahl dengan konsep negara hukum Rectsstaats di negara Eropa Continental.

 

C. Unsur-unsur Negara Hukum

Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesquieu dan lainnya, masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad XIX, yaitu dengan munculnya konsep rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang negara hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, (1949: 383), dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah negara hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang negara hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad XVII. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris. (O. Notohamidjojo, 1970: 21).

Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominasi oleh absolutisme raja, (Padmo Wahjono, 1989: 30; Philipus M. Hadjon, 1972). Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl, (Miriam Budiardjo, 1998: 57). Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system, (Philipus M. Hadjon, 1972: 72). Konsepsi negara hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats. (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74).

Friedrich Julius Stahl dalam karyanya Staat and Rechtslehre II, (1878: 37), mengkalimatkan pengertian negara hukum, sebagai berikut: “Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong perkembangan pada zaman baru. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya, bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlaq dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh dari seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.” (O. Notohamidjojo, 1970: 24)
Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu: (Miriam Budiardjo, 1998: 57-58).

1) Perlindungan hak-hak asasi manusia;

2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);

3) Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of law) yang dikembangkan oleh Albert Venn Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut.
1) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power);


2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.

3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar dalam abad ke XX di Nedherland, menulis tentang negara hukum (Over den Rechtsstaats, 1935, lihat Verzamelde Gessriften deel I, h.382-394). Paul Scholten menyebut dua ciri negara hukum, yang kemudian diuraikan secara luas dan kritis. Ciri utama negara hukum, ialah “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini meliputi dua segi:
1) Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak di luar wewenang negara;

2) Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan undang-undang, dengan peraturan umum.

Ciri yang kedua negara hukum menurut Paul Scholten: “er is scheiding van machten”, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan, (O. Notohamidjojo, 1970: 25). Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas hukum ialah adanya: (A. Hamid S. Attamimi, 1990: 312)

1) Hak-hak asasi manusia;

2) Pembagian kekuasaan;

3) Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum;

4) Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);


5) Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan) kekuasaan umum;

6) Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

7) Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.

Dalam bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution, Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of law: pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua, persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama, tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya, (A.V. Dicey, 1952: 202-203).
Di Indonesia istilah negara hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur: (Abdul Latief, 2005: 20).

1) Pemerintahan dilakukan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) di mana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-undang;

2) Dalam negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa yang bersangkutan;

3) Kekuasaan pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan tersebut;

4) Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.

Munculnya “unsur peradilan administrasi dalam perselisihan” pada konsep rechsstaat menunjukan adanya hubungan historis antara negara hukum Eropa Kontinental dengan hukum Romawi. Philipus M. Hadjon menberikan pendapat, bahwa konsep rechsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep Rule Of Law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan Karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasi kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengkata. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem continental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administraf“ dan inti dari “droit administraf” adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat, di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi), (Philipus M. Hadjon, 1972).

Dalam perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di antaranya: (Ridwan HR, 2006: 4).

1) Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;

2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-undangan;

3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

5) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;

6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;

7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Perumusan unsur-unsur negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang menempatkan individu atau warga negara sebagai primus inter pares dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat membatasi kekuasaan negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagium yang begitu popular dari Lord Acton, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolute) pasti akan disalahgunakan).


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Atmosudirjo, Prajudi, 1995, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI.

Azhary, M. Tahir, 1992, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang.
Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dicey, A.V., 1952, Introduction to Study of The Law of The Constitution, Ninth Edition, ST. Martin’s Street, London: Macmillan And Co, Limited.

Hadjon, Philipus M., 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu.
Huijber, Theo, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius.
Isjwara, F., 1974, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Bina Cipta.

Kranenburg, R, 1955, Ilmu Negara Umum, terjemah Tk. B. Sabaroedin, Jakarta: J.B. Wolters-Groningen.
Kusnardi, Moh., 1988, dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti.

Kusumohamidjojo, Budiono, 2004, Filsafat Hukum: Problemtika Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo.

Latief, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII Press.

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM NEGARA KESATUAN

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA

Oleh
Tofan Adiaksa

Demokrasi dan Keberadaan Negara: Sebuah Pendahuluan
Realitas kepolitikan Orde Baru yang ditandai dengan besarnya peranan pemerintah dalam menentukan jalannya negara dan keterlibatannya dalam berbagai sektor masyarakat, telah menimbulkan minimal dua tanggapan. Pertama, tanggapan yang mempertanyakan relevansi realitas tersebut dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu prinsip hidup bernegara yang fundamental. Tanggapan ini seakan menggugat kenyataan bahwa peranan negara yang begitu besar dan yang pada batas tertentu telah menghambat aspirasi dan partisipasi dari bawah adalah realitas yang agaknya kurang menguntungkan bagi pelaksanaan demokrasi dan perlu diambil langkah-langkah konstruktif. Kedua, tanggapan yang mencoba menjelaskan atau memberi pijakan teoritis atas realitas kepolitikan yang menunjukkan dominasi peran negara itu. Pada tanggapan yang kedua ini telah dimunculkan bermacam-macam pendekatan seperti patrimonialisme, pasca-kolonial, beamtenstaat, politik birokratis, rezim birokratis otoritarian, strategi korporatisme, sampai pada pembahasan kembali staatsidee integralisitik yang dulu pernah dicetuskan oleh Prof. Soepomo di dalam sidang BPUPKI.
Diakui atau tidak, dalam konteks keindonesiaan, peran negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara memegang peranan penting. Pada era Orde Baru misalnya, cengkraman negara begitu kuat dalam masyarakat. Negara ikut campur dalam segala hal masalah ekonomi, politik dan sosial rakyat. Disatu sisi, memang negara mempunyai tanggung jawab (state responsibility) untuk mengendalikan dan memberdayakan rakyatnya agar tidak terjadi kesengsaraan dan penderitaan. Namun, di sisi lain, peran negara ini kadang disalahgunakan sebagai bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Negara menerapkan aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh rakyat, yang peraturan itu hanya menguntungkan sebagian kecil dari apa yang disebut sebagai “rakyat”.

Beberapa ahli mendefinisikan berbeda tentang negara. Roger H. Soltau menuliskan: “Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat (The state is an agency or authority managing or controling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community). Harold J. Laski mengatakan: “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society).
Max Weber berujar: “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory). Robert M. MacIver menyatakan: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).
Miriam Budiarjo menyimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Abraham Amos lebih menegaskan arti sebuah negara menjadi dua, negara dalam arti objektif dan negara dalam arti subjektif. Negara dalam arti objektif berarti segala sesuatu yang menyangkut ruang lingkup kedaulatan suatu kelompok komunitas masyarakat, dimana didalamnya terdapat strukutur kehidupan sosial atas kehendak organ masyarakat pada suatu wilayah tertentu; dengan tujuan menjalankan segala bentuk aktivitas hidupnya. Sedangkan negara dalam arti subjektif diartikan dengan adanya sekelompok komunitas manusia yang menghendaki suatu bentuk teritorial kedaulatan, yang kemudian dibentuk semacam konsensus atau kontrak sosial. Kontrak sosial itu tak lain ialah mufakat bersama dengan tujuan untuk membentuk wilayah kedaulatan sesuai kehendak komunitas dan memiliki seorang pimpinan komunitas sosial.
Negara bukan sekadar sekumpulan keluarga belaka atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antara perkumpulan suka rela yang diizinkan keberadaannya oleh negara. Dalam suatu komunitas politik yang diorganisir secara tepat, keberadaan negara adalah untuk masyarakat dan bukan masyarakat yang ada untuk negara. Pasalnya, keberadaan negara bermula dari perkembangan manusia (rakyat) yang kompleks dengan segala permasalahannya sehingga dibutuhkan adanya sebuah organisasi yang dilengkapi kekuasaan, disepakati bersama oleh rakyat tersebut, dan berfungsi menyelesaikan perselisihan untuk mengatur dan menciptakan ketentraman serta kedamaian dalam hubungan kemasyarakatan.
Logikanya, jika misalnya, keadaan rakyat dengan segala kompleks permasalahannya telah tentram dan damai maka rakyat tidak memerlukan adanya organisasi kekuasaan lagi. Dengan kata lain, bisa saja organisasi kekuasaan tersebut dibubarkan keberadaannya oleh rakyat. Akan tetapi, logika ini mungkin akan sangat sulit terealisasi karena kompleksitas permasalahan rakyat selalu ada seiring dengan berkembangnya kepentingan manusia. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa negara boleh menerapkan represifitas terhadap rakyat, karena hakekatnya keberadaan negara adalah untuk rakyat bukan rakyat yang ada untuk negara.
Keberadaan negara menjelma dalam sistem penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh tiga lembaga kekuasaan negara. Yakni lembaga legislatif (sebagai pembuat undang-undang), lembaga eksekutif (yang menjalankan undang-undang) dan lembaga yudikatif (pengadil terhadap pelanggaran atas undang-undang). Lembaga-lembaga kekuasaan negara ini menjalankan fungsinya dengan prinsip demokrasi (penyelenggaraan negara dari, oleh, dan untuk rakyat).
Biarpun prinsip demokrasi baru lahir pada akhir abad-19 mencapai wujudnya yang kongkrit, tetapi ia sebenarnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad-15 dan abad-16. Demokrasi abad-19 mengutamakan beberapa asas yang dengan susah diraihnya, misalnya kebebasan rakyat dari segala macam bentuk kekangan, dari kekangan kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam rangka ini posisi keberadaan negara hanya sebagai “penjaga malam” (Nachtwachtersstaat), yang hanya boleh ikut campur dalam kompleksitas permasalahan rakyat dalam batas-batas tertentu. Pada perkembangannya, keberadaan negara—khususnya setelah Perang Dunia II—tidak sebatas hanya sebagai penjaga malam. Negara harus turut bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan ekonomi warga negaranya. Gagasan ini dituangkan dalam konsep Welfare State (negara kesejahteraan) atau Social Service State.
Beriringan dengan tanggung jawab negara dalam gagasan Welfare State (negara kesejahteraan), timbul berbagai macam jalur demokrasi untuk menuju demokrasi yang modern. Setidaknya Mahfud MD mencatat ada tiga jalur menuju demokrasi modern, yakni: pertama, jalur revolusi borjuis yang ditandai dengan kapitalisme dan parlementarisme (misalnya, di Prancis dan Inggris). Kedua, jalur revolusi kapitalis dan reaksioner yang berpuncak pada facisme (misalnya di Jerman) dan ketiga, jalur revolusi petani. Seperti yang terlihat pada rute komunis yang sampai tahap tertentu disokong oleh kaum buruh (seperti Rusia dan Cina).
Bagaimana dengan demokrasi modern di republik ini? Selama 32 tahun lebih (1966-1998) pada era Orde Baru, negara ini mengalami masa pengelabuan sejarah. Demokrasi dalam arti sebenarnya berjalan ditempat. Semua kendali berada ditangan pemerintah. Represifitas dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menjadi kebiasaan, yang setiap orang “dipaksa” untuk mengakui keberadaan serta kebenarannya sebagai bentuk menjaga stabilitas negara. Keadaan yang seperti ini mengalami klimaksnya dengan ditandai turunannya Presiden Orde Baru yang digulingkan oleh kesatuan demontrasi aksi mahasiswa selaku kelompok penekan (pressure group) dan kelompok oposisi (opposition group) pada peristiwa tanggal 13-21 Mei 1998. era baru pun dimulai, yakni disebut dengan Orde Reformasi.
Orde Reformasi mengamanatkan agar demokrasi dikembalikan ke arti semula. Kedaulatan rakyat dikembalikan kepada rakyat dan negara harus mengusung kedaulatan tersebut menurut konstitusi (Undang-Undang Dasar). Ternyata dari sini bisa dilihat bahwa demokrasi modern di Indonesia dipakai dengan jalur yang berbeda dengan tiga jalur sebelumnya. Demokrasi modern di Indonesia ditapaki dengan jalur reformasi sosial.

Arti dan Prinsip Negara Hukum
Telah jelas bahwa apabila negara dikendalikan oleh kekuasaan yang korup maka akan menimbulkan kesengsaraan. Oleh karenanya, perlu diadakan suatu kontrol dan aturan yang dapat mengendalikan negara. Sejak zaman city-state (negara kota) di era Yunani kuno, keberadaan negara dikontrol melalui aturan yang disepakati bersama oleh rakyat Yunani. Norma (nomos) mengendalikan kekuasaan (cratos) negara. Maka Yunani telah sejak dulu mengenal adanya nomokrasi, yakni kekuasaan negara yang dikendalikan oleh norma/aturan.
Ide nomokrasi ini identik dengan konsep kedaulatan hukum, bahwa hukum memegang peranan tertinggi dalam kekuasaan negara, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma/aturan/hukum. Sesungguhnya yang dianggap sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan negara adalah norma/aturan/hukum itu sendiri. Dalam perkembangannya, kedaulatan hukum menjelma menjadi konsep negara hukum.
Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law.
Selain itu, negara hukum juga dapat dibagi ke dalam negara hukum formil (demokrasi abad XIX) dan negara hukum materil (demokrasi abad XX). Peran pemerintahan dalam negara hukum formil dibatasi. Artinya, pemerintah (negara) hanya menjadi pelaksana segala keinginan rakyat yang dirumuskan para wakilnya di parlemen. Karena sitanya yang pasif ini, maka negara diperkenalkan sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam).
Negara hukum materil (demokrasi abad XX) mengamanatkan peran bahwa peran negara tidak hanya sebatas penjaga malam, tetapi negara juga harus ikut bertanggung jawab dan ikut campur dalam menciptakan kesejahteraan rakyat.
A.V. Dicey menguraikan tentang negara hukum (The Rule of Law) lewat pengalaman de Tocqueville, seorang Perancis yang mengamati konstitusi Inggris, yang kemudian dipaparkan melalui tiga makna, yakni: pertama, Supremasi dan superioritas hukum reguler (Supremacy of Law) yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena munculnya kesewenang-wenangan tersebut.
Kedua, The Rule of Law juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh mahkamah umum (Equality Before The Law). Ketiga, seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, namun ia tidak dapat dihukum karena alasan lain (Due Procces of Law) atau dengan kata lain, dalam negara hukum pasti berlaku asas legalitas.
Para Sarjana Eropa Kontinental—yang diwakili oleh Julius Stahl—menuliskan prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
International Comission of Jurists pada konfrensinya di Bangkok (1965) juga menekankan prinsip-prinsip negara hukum yang seharusnya dianut oleh sebuah negara hukum, yaitu:
1. Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan
6. Pendidikan kewarganegaraan.
Jimly Ashshiddiqie menuliskan kembali prinsip-prinsip negara hukum dengan menggabungkan pendapat dari sarjana-sarjana Anglo-Saxon dengan sarjana-sarjana Eropa Kontinental. Menurutnya dalam negara hukum pada arti yang sebenarnya, harus memuat dua belas prinsip, yakni:
1. Supremasi Hukum (Suprermacy of Law).
Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakekatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi, The Rule of Law and not of man.
2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law).
Setiap orang berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Sikap diskrimatif dilarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang disebut affirmative action, yakni tindakan yang mendorong dan mempercepat kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan, sehingga mencapai perkembangan yang lebih maju dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang telah lebih maju.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law).
Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Setiap perbuatan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedurs (regels). Namun, disamping prinsip ini ada asas frijsermessen yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri beleid-regels atau policy rules yang berlaku secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan kekuasaan.
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisahkan kekuasaan ke cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain.
Dapat juga dilakukan pembatasan dengan cara membagikan kekuasaan negara secara vertikal, dengan begitu kekuasaan negara tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi yang bisa menimbulkan kesewenang-wenangan. Akhirnya falsafah power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutly bisa dihindari.
5. Organ-organ eksekutif independen.
Independensi lembaga atau organ-organ dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Misalnya, tentara harus independen agar fungsinya sebagai pemegang senjata tidak disalahgunakan untuk menumpas aspirasi pro-demokrasi.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Namun demikian, hakim harus tetap terbuka dalam pemeriksaan perkara dan menghayati nilai-nilai keadilan dalam menjatuhkan putusan.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan administrasi negara ini juga menjadi penjamin bagi rakyat agar tidak di zalimi oleh negara melalui keputusan pejabat administrasi negara.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court).
Pentingnya Constitutional Court adalah dalam upaya untuk memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisahkan untuk menjamin demokrasi.
9. Perlindungan hak asasi manusia.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat).
Negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap negara demokratis harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum. Jadi negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah negara hukum yang absolut (absolute rechtsstaat) melainkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat).
Sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan bernegara Indonesia dalam rangka melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak pada rule-driven, melainkan mission driven, tetapi mission driven yang didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan kontrol sosial.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung.
Singkatnya, negara berdasarkan hukum (negara hukum) secara esensi bermakna hukum adalah “supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk dan patuh pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law). Semuanya ada di bawah hukum (under the law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (missuse of power). Hukum dan prinsip-prinsipnya harus menjadi panglima dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.

Negara Kesatuan Republik Indonesia
Strong mendefinisikan negara kesatuan sebagai sebuah negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. Lebih lanjut Strong menyatakan bahwa sebuah negara kesatuan setidaknya mempunyai dua sifat penting yakni (i) supremasi parlemen pusat dan (ii) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan.
Supremasi parlemen pusat dimaknai bahwa dalam negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif yang selalu memegang kekuasaan tertinggi secara absolut. Sifat ini membedakannya dengan paham dalam negara federal yang lembaga legislatifnya ada dua—lembaga legislatif federal dan lembaga legislatif negara bagian—satu lembaga untuk setiap bidang wewenangnya sendiri dan tidak berkuasa secara universal.
Tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan diartikan sebagai tidak adanya otoritas lain selain otoritas tertinggi. Jika otoritas pusat membawahi otoritas-otoritas lain yang menjadikannya tidak berdaya untuk turut campur dengan proses perundang-undangan biasa (selain yang ditetapkan dalam konstitusi), maka otoritas pusat itu adalah otoritas federal. Apabila otoritas pusat membawahi otoritas-otoritas lain yang dapat dibuat atau dihapuskan menurut kehendaknya, maka otoritas itu adalah otoritas tertinggi dan negara dengan batas-batas otoritas tak terbatas ini disebut dengan negara kesatuan.
Di Indonesia, konstitusi pra-amandemen maupun konstitusi pasca-amandemen telah jelas menyatakan bahwa negara ini adalah negara kesatuan. Dalam Pasal 1 ayat (1) ditulis: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik.” Paham negara kesatuan Indonesia dipaparkan oleh Soepomo dengan paham integralistik (penyatuan/kesatuan) atau lebih dikenal dengan staatsidee Integralistik yang disampaikan di depan sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945.
Menurut Soepomo, dari berbagai aliran yang diterapkan ke dalam negara maka aliran nasional-sosialis—persatuan antara pemimpin dan rakyat serta persatuan dalam negara seluruhnya—merupakan aliran yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Soepomo menyatakan:
“Manusia sebagai seorang tidak terpisah dari seseorang lain dari dunia lain, golongan-golongan manusia, malah segala golongan mahluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut, segala sesuatu berpengaruh-mempengaruhi dan kehidupan bersangkut-paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berujud pula dalam susunan tata negaranya yang asli….bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik…..”

Negara kesatuan yang diperkenalkan oleh Soepomo, dalam perubahan kontitusi—hingga perubahan keempat—tetap dipertahankan. Pasal 1 ayat (1) tidak dirubah. Negara persatuan/negara kesatuan menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan keberadaan NKRI ini menjadi keharusan. Barang siapa ingin merubah NKRI berarti dia melawan konstitusi.
Dalam penjelasan UUD pra-amandemen, pada bab II. “pokok-pokok pikiran dalam “pembukaan” dinyatakan:
“…..Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa dan seluruhnya. ….Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya, inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.”

Negara Hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD NRI 1945: Catatan Akhir
Pada tulisan sebelumnya telah didapatkan kesimpulan bahwa negara hukum adalah sebuah negara yang menjadikan hukum sebagai panglima dalam penyelanggaraan negara. Tentunya maksud hukum sebagai panglima tersebut diterapkan melalui pelaksaanaan prinsip-prinsip negara hukum. Pada ranah lain, negara kesatuan—dengan mengutip tulisan Strong—diartikan dengan penyelenggaraan negara harus di organisir dari pemerintah pusat. Strong selanjutnya menuliskan bahwa negara kesatuan tersebut harus memiliki sifat (i) supremasi parlemen pusat dan (ii) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan. Di Indonesia, konsep negara kesatuan di perkenalkan oleh Soepomo dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945.
Penulis melihat ada kemiripan konsep negara kesatuan yang ditulis oleh Strong dengan konsep yang ditawarkan oleh Soepomo. Keduanya telah diakomodir dalam UUD pra-amandemen, dengan implementasi bahwa Indonesia memiliki MPR yang menjadi lembaga tertinggi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat secara penuh. Pasal 1 ayat (2) UUD pra-amandemen mengatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini mensuratkan bahwa kedaulatan negara ini ada ditangan rakyat dan yang mempunyai wewenang penuh untuk melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut adalah MPR. Mungkin konsep seperti ini yang dibicarakan oleh Strong dengan “supremasi parlemen pusat.”
Keberadaan dewan perwakilan (DPRD) di daerah pun harus tunduk pada majelis tertinggi. Dewan perwakilan di daerah tidak punya kuasa untuk membuat kebijakannya sendiri. Kebijakan yang dijalankan haruslah berasal dari pemerintah pusat. Mungkin pula konsep seperti ini yang dinyatakan oleh Strong dengan “tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan”.
Namun kenyataannya, konsep negara kesatuan yang diterapkan di Indonesia sebelum perubahan UUD tidak mengakomodir prinsip negara hukum dalam arti sebenarnya. MPR yang kekuasaannya berasal dari kedaulatan rakyat, dimainkan sedemikian rupa oleh Presiden sehingga hampir 32 tahun (1966-1998) penyelenggaraan negara menabrak prinsip-prinsip negara hukum.
Beberapa contoh misalnya, Prinsip supremacy of law tidak dijalankan. Kekuasaan berada penuh ditangan Presiden, yang terjadi bukanlah hukum yang menjadi panglima, tetapi Presidenlah yang menjadi panglima. sektor ekonomi digenjot begitu rupa untuk “pembangunan”. Kaum pemodal baik asing maupun dalam negeri diundang untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Regulasi dimuluskan oleh Presiden dan para kroninya guna mendukung usaha “pembangunan” ini. Banyaknya investasi yang ditanam menjadi lahan basah untuk menggarap pohon korupsi. Pundi-pundi korupsi yang ditumpuk oleh oknum pejabat negara makin berlimpah dan merajalela. Diakui atau tidak, kenyataannya Presiden (penguasa) “memuluskan” jalan korupsi para oknum ini, dan parahnya hukum tidak bisa menjangkau mereka. Pada titik ini The Rule of Law and not of man tidak berjalan.
Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) juga tidak berlaku. Para pejabat negara yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme jarang bisa dijerat dengan hukum. Mereka aman berlindung dibawah ketiak penguasa (Presiden). Jerat hukum hanya bisa menjangkau kaum tidak berpunya (the not have society). Orang yang hanya mencuri ayam untuk dijual kembali—karena tidak makan seharian—akan dikurung atau bahkan, apabila psikologi masyarakat lagi panas, dibakar tanpa ampun. Bagi orang kecil, dekil dan miskin, perjuangan untuk mencari sesuap nasi di republik ini bagaikan menanam duri dalam samudra, sulit dan butuh pengorbanan yang sangat. Jerat hukum tidak bisa menjangkau kaum berpunya (the have society). Oknum yang korupsi hingga milyaran rupiah, bebas bertolak-pinggang dan keluar-masuk negara ini tanpa takut akan ditangkap oleh penegak hukum. Equality before the law hanyalah angan-angan semua yang berada di menara gading.
Asas legalitas (due process of law) menjadi mimpi diatas mimpi. Jarang sekali menjadi nyata. Penguasa mnggunakan pasal-pasal penyebar kebencian, Pasal 154, 154a, 155, 156, 156a. 157, dan 160 KUHP/hartzai artikelen, untuk membungkam aktivis pro-demokrasi. Tindakan subversif adalah alasan yang paling sering ditujukan kepada mereka yang menanyakan keadilan, demokrasi dan semacamnya secara terang-terangan. Pemberlakuan kekuatan militer (tentara) untuk menumpas kelompok yang dianggap “para gerombolan” dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di beberapa daerah seakan menjadi pembenaran. Parahnya lagi, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang sedikit vokal saja terhadap kebijakan pemerintah akan tinggal nama belaka. Mereka hilang (dihilangkan) sampai-sampai kuburnya pun tidak diketahui dimana letaknya.
Lalu bagaimanakah penerapan negara hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca-amandemen (UUD NRI 1945)? beberapa pasal dirubah melalui proses amandemen, akibatnya substansi penyelenggaraan negara pun berubah. Namun, negara ini tetap menjadi Negara Kesatuan. Beberapa pasal yang dirubah tersebut misalnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat.” menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Udanng Dasar.”
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 itu adalah sign bahwa negara ini akan menjadikan hukum sebagai panglima, karena penyelanggaraan kekuasaan negara haruslah didasarkan atas hukum (UUD), tidak lagi dipegang penuh oleh Majelis Permusyawaratan.
Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) pun semakin diperkuat. Sebelumnya, jaminan HAM hanya diakomodir dengan pasal 28 saja. Sekarang jaminan terhadap HAM diakomodir pada pasal 28, 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, dan 28I UUD NRI 1945. Rakyat dijamin hak-haknya. Dengan akomodasi pasal-pasal HAM ini, harapan untuk menciptakan equality before the law dan due process of law dapat tumbuh dalam langgam bahasa hati rakyat.
Dengan demikian, seperti di ungkapkan oleh John Locke bahwa negara harus memegang kewajiban-kewajiban dalam bentuk (i) kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur nasib rakyat secara sembarangan; (ii) kekuasaan negara tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan yang matang; (iii) pemerintah tidak boleh mengambil atau merampas hak milik rakyat tanpa persetujuan; dan (iv) perundang-undangan harus menjamin agar kekuasaan politik digunakan bagi kepentingan umum akan terealisasi dalam koridor NKRI.
Terlepas dalam perjalanannya nanti, apakah konsep negara hukum dapat terus dijaga dan dilestarikan dalam NKRI atau tidak, setidaknya pada saat ini prinsip negara hukum telah bisa dimasukkan dalam konstitusi. Dan selanjutnya dijalankan oleh lembaga kekuasaan penyelenggara negara, karena hakekatnya kedaulatan ada ditangan rakyat dan negara ini adalah milik rakyat bukan penguasa.

DAFTAR BACAAN

Amos, H.F. Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Indonesia dari Orla, Orba Sampai Reformasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2005. Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Jakarta: Konstitusi Press
Dicey, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi (terj). Bandung: Penerbit Nusamedia.
Ghaffar, Affan. 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indoensia: Studi tentang Interaksi Politik dam Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta
Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press
MPR-RI. 2002. Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekjen MPR-RI
Nurtjahjo, Hendra. 2005. Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soemardjan, Selo (ed). 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia
Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj.) Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusamedia
Wheare, K.C. 2003. Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Pustaka Evreka
Widjojanto, Bambang, Saldi Isra, Marwan Mas (ed). 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen. Jakarta: Pustaka Harapan

 

Konsep Trias Politica

Konsep Trias Politica

 

Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M. Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara dapat lebih terjamin.

Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.

Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili, dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).

Selanjutnya, pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya.

Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang).

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya .Ø¢ Ø¢  Ø¢ 

Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka –seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu– bila satu orang atau satu badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.

Konsep Trias Politica ini bertentangan dengan Islam dalam segi-segi berikut:

Pertama, Sumber konsep ini adalah manusia, dimana manusia memberikan penilaian baik buruknya sesuatu menurut akal belaka. Konsep ini dibuat oleh para filsuf sebagai pemecahan terhadap masalah penindasan dan kesewenang-wenangan para raja dan tokoh gereja di Eropa terhadap rakyatnya dalam menjalankan kekuasaan.

Dalam Islam, yang berhak memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah Allah SWT semata, yakni syara’, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini hanya terbatas memahami fakta permasalahan dan nash-nash syara’ yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Tetapi fakta bukanlah sumber pemecahan masalah atau sumber konsep/pemahaman tentang hidup, melainkan objek permasalahan yang harus dikaji untuk kemudian dicarikan pemecahannya menurut nash-nash syara’. Pemecahan terhadap suatu permasalahan haruslah berasal dari syara’, bukan bertolak dari fakta permasalahan itu sendiri tanpa merujuk kepada syara’. Firman Allah SWT :

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Al An’aam : 57)

Firman Allah SWT: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy Syuura : 10)

Kedua, Konsep ini merupakan salah satu ide pokok Demokrasi yang kufur, sebab Demokrasi telah menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan sekaligus rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan-kekuasaan. Maka dari itu, demokrasi menetapkan rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang, menentukan para hakim, dan mengangkat para penguasa.

Adapun Islam, telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat. Syara’lah yang menjadi rujukan tertinggi dalam segala sesuatu. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. (An Nisaa’ : 59)Ø¢ Ø¢ Ø¢  Ø¢ 

Sementara dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai berikut:

1. Kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Maka dari itu, hanya Allah SWT sajalah yang menjadi Musyarri’ (Pembuat Hukum) yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua’malah, uqubat, dan sebagainya. Tak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walau pun hanya satu hukum. Firman Allah SWT :

Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (Al An’aam : 57)

Firman Allah SWT :Ø¢ Ø¢ Ø¢  “Ingatlah. Menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah ” (Al A’raaf : 54)

Yang dimiliki oleh rakyat, adalah kekuasaan, atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa. Namun demikian, syara’ telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan (mentabanni) hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, adalah khalifah saja, bukan yang lain. Ijma’ Shahabat menetapkan bahwa hanya khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya.

Dalam hal ini bukan berarti khalifah yang memegang kekuasaan legislatif, sebab khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.Ø¢ Ø¢ Ø¢ 

2. Kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat, sebab kekuasaan itu adalah milik umat/rakyat, dan dijalankan secara riil oleh khalifah –dan para aparatnya– sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syara’ dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa, agar para penguasa ini menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat, yakni bahwa bai’at itu berasal dari kaum muslimin untuk khalifah, bukan dari khalifah untuk kaum muslimin. Di antaranya adalah sabda Nabi saw: “Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai.” (Shahih Bukhari no. 7199)

3. Kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh khalifah, atau orang yang mewakili khalifah untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Jadi, khalifahlah yang mengangkat para qadli (hakim) dan mengangkat orang yang diberi wewenang untuk mengangkat para qadli. Tak ada seorang pun dari rakyat –baik secara individual maupun secara kolektif– yang berhak mengangkat para qadli. Hak ini hanya dimiliki oleh khalifah, bukan yang lain.Ø¢  Ø¢ 

Hal itu karena nash-nash syara’ menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan (qadla’) dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Demikian pula Rasulullah saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra sebagai qadli di Yaman, dan mengangkat Abdullah bin Naufal ra sebagai qadli di Madinah. Ini semua menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan khalifah dan mereka yang mewakili khalifah dalam urusan ini.Ø¢ Ø¢ Ø¢ 

Ketiga, Apabila penguasa kaum muslimin berlaku dzalim, merampas hak-hakØ¢ Ø¢  rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syara’ dalam hal ini telah memberikan pemecahannya, yaitu dengan mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi (muhasabah) dan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias Politica.

Sabda Rasulullah saw: “Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatan mereka, dan (ada yang) mengingkari perbuatan mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syara’), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syara’) maka dia selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syara’) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para shahabat bertanya,”Apakah kita tidak memerangi mereka ?” Jawab Nabi saw,”Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (Shahih Muslim, hadits no. 1854)

Rasulullah saw telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan penyimpangan, dengan berbagai sarana yang memungkinkan, baik dengan tangan, lisan, maupun hati bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw menetapkan siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.Ø¢ Ø¢ Ø¢ Ø¢ Ø¢  Ø¢ Dengan demikian Islam tidak mengkaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syara’ tertentu, sedang masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syara’ yang lain.

Dan kaum muslimin wajib mengambil pemecahan dari syara’ apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar ma’ruf nahi mungkar. Sebaliknya kaum muslimin diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syara’, seperti konsep Trias Politica. Sebab Allah SWT berfirman :Ø¢ Ø¢ Ø¢ 

Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nuur : 63)

Keempat, Konsep Trias Politica bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang karena perilaku penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Islam tidak mengakui adanya ide kebebasan, yakni kebebasan dalam arti tidak terikat dengan sesuatu apa pun pada saat dilakukannya suatu perbuatan, sebagaimana yang ada dalam peradaban Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara’. Demikian pula seorang muslim tidak boleh berbuat kecuali sesuai dengan hukum-hukum syara’. Keterikatan pada hukum syara’ adalah bukti dan buah dari iman. Allah SWT berfirman :Ø¢ Ø¢ Ø¢ 

Maka demi Rabbmu. Mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) hakim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (An Nisaa’ : 65)

Islam memang telah mewajibkan umatnya untuk beraktivitas dalam politik, seperti memilih penguasa, melakukan pengawasan dan koreksi terhadap mereka. Namun hal ini bukanlah kebebasan politik, melainkan pelaksanaan dari hukum syara’, yaitu kewajiban berpolitik dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

Atas dasar penjelasan di atas, jelaslah bahwa konsep Trias Politica sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Konsep Trias Politica tiada lain adalah konsep thaghut, padahal Allah telah mengharamkan kaum muslimin untuk berhukum kepada thaghut dan mengambil konsep pemerintahan thaghut. Dan Allah pun telah memerintahkan kaum muslimin untuk menentang dan mengingkari thaghut itu, sebagaimana firman-Nya:

Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah (untuk) mngingkari thaghut itu. Dan syaithan hendak menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa’ : 60)

 

KEJAHATAN POLITIK

 

 

KEJAHATAN POLITIK

 

Pengertian Kejahatan Politik

Masyarakat awam menyebut setiap perkara pidana yang substansinyya menyangkut konflik kepentingan antara warga negara dengan pemerintah yang bertalian dengan pengaturan kebebasan warga negara dalam negara hukum dan atau berfungsinya lembaga-lembaga negara sebagai delik politik atau kejahatan politik. Pendapat masyarakat yang demikian tidaklah dapat disalahkan. Sebab, begitu luasnya cakupan pengertian politik, maupun pengertian kejahatan. Dalam perspektif kriminologi istilah jahat dapat dilabelkan oleh orang yang berkuasa kepada perilaku tersebut mengancam keduduk yang dianggapnya legal. Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, pendefinisian perbuatan pidana yang dikualifikasikan sebagai pidana politik senantiasa dipengaruhi oleh tantangan yang dihadapi oleh negara dalam kurun waktu tertentu dan persepsi dari elite pemegang kekuasaan negara terhadap tantangan tersebut.

Dari segi istilah, kejahatan politik merupakan kata majemuk “kejahatan” dan “politik”. Namun apabila dilihat dari kata majemuk ini, kita akan menemui masalah, sebab begitu banyak pengertian yang kita dapatkan dari istilah kejahatan maupun istilah politik. Seperti yang telah diutarakan pada bagian pendahuluan, kejahatan dapat diberi pengertian berdasarkan Legal Definition of Crimes dan Social Definition of Crimes. Menurut Yuwono Sudarsono, politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Politik juga sering disalahartikan, misalnya larangan untuk berpolitik, deidiologisasi, deparpolitisasi yang hampir semua orang telah mengetahui bahwa pelarangan itu juga merupakan perbuatan politik.

Dalam rangka menjelaskan pengertian kejahatan politik, para penulis hukum pidana mencoba membedakannya dengan kejahatan umum. Hazewinkel Suringa penjahat politik tergolong pelaku yang bendasarkan keyakinan. Pada kejahatan pelaku berkeyakinan (overtuigzngc claders) bahwa pandangannya tentang hukum dan kenegaraan lebih tepat dan pandangan negara yang sedang berlaku. Oleh karena itu,iatidak mengakui sahnya tertib hukum ygng berlaku sehingga harus diubah atau diganti sama sekali sesuai dengan idealnya. Hal Ini berbeda dengan penjahat umum. Meskipun penjahat umum melakukan perbuatan pidana, tetapi penjahat umum tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang benlaku di negara

Menurut Remmelink, perbedaan antara penjahat politik dengan penjahat umum dapat dilihat dan motif yang mengendalikan perbuatannya. Penjahat dikendalikan oleh motif altruistik atau orang lain. Motif tersebut oleh keyakinannya bahwa tertib masyarakat atau negara atau pimpinan dirubah sesuai dengan idealnya. Sedang penjahat biasa dikendalikan oleh motif ego Remmelink juga membedakan antara kejahatan politik dan perbuatan politik.

Penjahat politik menghendaki pengakuan dari norma-norma yang diperjuangkan agar dapat diterima oleh tertib hukum yang berlaku. Sernentara perbuatan politik dilakukan bukan semata-mata karena keberatan terhadap norma yang dilanggarnya, akan tetapi terutama keberatan terhadap norma-norma lain yang menjadi bagian dan tertib hukurnatau berkeberatanterhadap situasi-situasi hukum yang dianggap tidak adil. Pembedaan mi penting untuk kualifikasi kejahatan politik dengan perbuatan politik yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Perbuatan politik tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kekacauan di masyarakat, tetapi semata-mata untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan perbuatan, antara lain demonstrasi, petisi, aksi protes dan lain sebagainya. Seorang pelaku perbuatan politik menolak melakukan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan hati nuraninya.

Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah menurut konferensi internasional tentang hukum pidana. Konferensi tersebut memberi pengertian kejahatan politik sebagai kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Penger tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan delik politik, apakah individu, korporasi, ataukah negara. Demikian pula organisasi mana yang dimaksud, sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara. (Abdul Hakirn Garuda Nusantara, Pidana Politik Seri Diskusi Hukum dan Politik, Devisi Pendidikan dan Kajian Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, (YLBHI), Jakarta )

  1. Kejahatan Dalam Pemilu

Bentuk kejahatan pemilu yang dikeluarkan oleh Local Autonomy College sebuah lembaga studi pemerintahan di bawah Depdagri Jepang, terdiri dari dua: kejahatan kriminal pemilu dan kejahatan administrasi pemilu. Tindak kriminal pemilu berupa penyuapan/penyogokan, pengacauan proses pemilu termasuk perusakan sarana pemilu, pengacauan ‘fraud’ data pemilih, dan tindakan lainnya yang berupa makar untuk menghalangi proses pemilu yang adil. Kejahatan administrasi biasanya berupa ketidakdisiplinan parpol atau peserta pilkada dalam hal administrasi dan dokumentasi seperti pemalsuan curriculum vitae termasuk ketidakdisiplinan dalam kampanye dan pemasangan spanduk kepartaian di luar masa kampanye. Pemalsuan data diri peserta pemilu bisa berubah menjadi tindakan kriminal apabila ada tuntutan dari pihak ketiga yang dirugikan.

Manipulasi data pemilih dan manipulasi perhitungan suara dimasukkan ke dalam tindak kriminal pemilu karena secara sengaja dan direncanakan dilakukan oleh orang atau sekelompok orang. Misalnya, data pemilih diatur sedemikian rupa sebelum pemilu sebagai upaya pemenangan calon partai tertentu. Ini bisa terjadi, apabila KPU sebagai penyelenggara pemilu/pilkada tidak jeli dalam mendata pemilih baru, atau hanya memakai data kependudukan dari Departemen Dalam Negeri. Contoh, ketika pelaksanaan pilkada propinsi Banten yang masih menyisakan masalah dan proses peradilan masih berlangsung karena banyak pemilih kota yang tidak mendapatkan kartu pemilih. Manipulasi pemilu dan korupsi suara pemilih itu sama dengan korupsi keuangan. Ada akibatnya tetapi sulit untuk dibuktikan. Untuk itu diperlukan suatu badan tertentu, semacam KPK-nya pemilu/pilkada, yang memiliki wewenang melakukan investigasi audit pemilu sebagaimana di investigasi audit keuangan. Sehingga, kejahatan pemilu meskipun telah berlangsung masih bisa diusut dan disidangkan secara hukum.

 

2.      Reaksi Sosial

Dengan peristiwa adanya kejahatan politik yang merajalela di kalangan elit politik sangat meresahkan paradigma masyarakat terhadap politik di Indonesia dan pemerintahan yang menjabat sebagai petinggi Negara, banyak rakyat atau masyarakat yang akhirnya lebih memilih GOLPUT dari pada mendukung suatu partai atau golongan yang notabene hanya mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan. Dilihat dari data yang lebih memilih GOLPUT  dari tahun ketahun sangat meningkat. Hal ini sangat disayangkan tentunya dalam pemilu yaitu merupakan pesta demokrasi yang terbesar di Indonesia. Seharusnya pelaksanaan dalam  pemilu tidak ternodai dengan adanya kejahatan politik yang hanya dapat menimbulkan kitidak percayaan rakyat terhadap suatu golongan atau partai dengan mosi tidak percaya. ( analisa pribadi )

3.      Korban

Banyak yang di rugikan dari setiap kejahatan politik, tentunya yang pertama adalah para partai peserta pemilu yang lainnya. Karena sebuah kejahatan atau kecurangan di dalam pelaksanaan pemilu akan berdampak pada partai yang lainnya juga, seperti kehilangan surat suara dari para pendukungnya karena adanya kecurangan atau kejahatan yang merugikan khalayak banyak. Ada sebuah pernyataan masyarakat yang mengatakan “ bagaimana negara ini akan maju jika para petinggi negara atau elit politik saja tidak mempunyai moral dalam melaksanakan pesta demokrasi yang jujur dan adil “ kejadian yang seperti ini tentunya perlu di pertanyakan kepada para pelaku kejahatan politik di dalam pemilu tersebut, mengapa masyarakat atau rakyat sudah tidak lagi mempercayai dan mendukung apa yang di lakukan oleh elit politik tadi karena seharusnya yang diutamakan itu adalah kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi. ( analisa pribadi dan  harian singgalang padang 12 maret 2009 “ sepak terjang elit politik “ )

 

  1. Pelaku

 

Para pelaku kehatan politik ini dan yang khususnya dalam pemilu yaitu merupakan ognum – ognum yang tidak bertanggung jawab dan yang pastinya pelaku tersebut adalah orang yang sangat memahami tentang bagaimana politik di Indonesia. Dalam hal ini pelaku sangat beraneka ragam karena siapa saja yang mempunyai kepentingan politik di dalam pemilu tentunya mereka sangat merbondong – bondong untuk mencapai suatu tujuan dengan segala macam cara demi mendapatkan apa yang di inginkan, seperti halnya di KPU di Jakarta yang melakukan hal tersebut yang itu menggelapkan surat suara dari DPT "Suatu fakta yang tidak ditulis sebagaimana yang di dalam daftar pemilih itu adalah palsu. Sesuatu yang ditambahkan atau dikurangi itu palsu. Pelanggarannya pasal 226 ayat 1, memberikan keterangan palsu ke dalam akte otentik. Jadi jumlahnya tidak sesuai dengan realita atau dikurangi itu adalah sebuah pemalsuan,"  Jhonson salah satu pemuka HAM di daerah tersebut mengatakan bahwa kalau KPU telah mengeluarkan DPT yang isinya tidak sesuai baik ditambahkan atau dikurangi, maka KPU yang harus bertanggungjawab terhadap kejahatan pemalsuan. Berikutnya adalah para PARPOL yang tentunya sangat mempunyai kepentingan politik di dalam pemilu, secara realita banyak yang melakukan pelanggaran dan kecurangan di dalam kampanye, contoh saja di SUMBAR catatan PANWASLU sudah sangat banyak mengenai kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh PARPOL – PARPOL yang mengikuti PEMILU dan hal ini tentunya tidak menutup kemungkinan bagi para tim sukses dari setiap partai juga melakukan hal yang sama demi kemenangan partainya.

 

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

(TINJAUAN UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

 

A. PENDAHULUAN

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.

Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :

  1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

B. PENGERTIAN KORUPSI

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :

  1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
  2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
  3.  Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan  untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

4.    Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan   sebagainya);

5.     Koruptor (orang yang korupsi).

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:

1.      Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);

2.      Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).

3.      Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388,  415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

 

C.           PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

1.  Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2.  Pegawai Negeri adalah meliputi :

a.  pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam      Undang-undang   tentang Kepegawaian;

b.  pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang  Hukum Pidana;

c.  orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d.  orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e.  orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3.  Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

 

D.          PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut. 

Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

1.                         Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

 

 

a.      Pidana Penjara

1.                         Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)

2.                         Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)

3.                         Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)

4.                         Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

 

 

 

 

 

b.      Pidana Tambahan

1.             Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2.             Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3.             Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

4.             Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

5.             Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

6.             Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

 

c.       Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1.                         Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

2.                         Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3.                         Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.

4.                         Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.

5.                         Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

 

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah

1.                  Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2.                  Perbuatan melawan hukum;

3.                  Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

4.                  Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.