Senin, 15 Februari 2010

SEJARAH NEGARA HUKUM


Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Selain itu Pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri (Sobirin Malian, 2001: 25) dan pemikiran tentang negara hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual (A. Ahsin Thohari, 2004: 48).

Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 s.M. (J.J. von Schmid, 1988: 7). Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani kuno. Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum (Jimly Asshiddiqie, 1994: 11).

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia.

Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno, seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M). Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum, (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74). Dalam Nomoi, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan, pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum, (Budiono Kusumohamidjojo, 2004: 36-37).
Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 153). Gagasan Plato tentang negara hukum semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang negara hukum. Aristotoles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Dalam negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.

Ide negara hukum menurut Aristoteles ini, tampak sangat erat dengan “keadilan”, bahkan suatu negara akan dikatakan sebagai negara hukum apabila suatu keadilan telah tercapai. Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk negara hukum dalam arti “ethis” dan sempit, karena tujuan negara semata-mata mencapai keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori-teori ethis, sebab menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa. Dalam kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengemukakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 153). Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir beberapa puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara hukum sesudah Masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, seperti dikemukakan oleh beberapa ahli.

Jean Bodin (1530-1596) juga menganjurkan absolutisme raja. Raja harus mempunyai hak mutlak membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Kedaulatan itu puissance absolute atau kekuasaan mutlak yang terletak di dalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh undang-undang. Karena yang membuat undang-undang itu raja, maka tidak mungkin pembuatnya diikat oleh buatannya sendiri. Akan tetapi berlawanan dengan Machiavelli, Jean Bodin mengatakan bahwa raja itu terikat dengan hukum alam. Lebih lanjut Jean Bodin memandang kekuasan yang terpusat pada negara yang makin lama makin tegas tampak dalam bentuk kekuasaan raja. Karena itu disimpulkannya, bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan, yaitu kekuasaan raja yang superior, (Theo Huijber, 1995: 57).

Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa manusia sebelum hidup dalam lingkungan masyarakat bernegara, hidup dalam alam. Dalam keadaan alami itu manusia mempunyai hak alami yang utama, yaitu hak utama mempertahankan diri sendiri. Dalam situasi demikian itu manusia merupakan musuh bagi manusia lainnya dan siap saling menerka seperti serigala, akibatnya ialah merajalelanya peperangan semuanya melawan semuanya. Namun, dibimbing oleh akalnya manusia mengerti bahwa bila keadaan yang demikian itu diteruskan, semuanya akan binasa. Oleh karena itu manusia lalu bergabung memilih penguasa yang menjamin hukum malalui suatu perjanjian sosial. Dalam teori Hobbes, perjanjian masyarakat tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang diserahkan kepada raja. Raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak. (Theo Huijber, 1995: 57)
Dikemukakan di atas beberapa ahli yang secara ekstrim menyatakan pendapatnya untuk membenarkan sistem pemerintahan yang bersifat absolut guna diterapkan dalam kehidupan bernegara. Memang apabila ditelusuri lebih jauh pandangan ini, tentu kita akan melihat bahwa konsepsi mereka dilatarbelakangi oleh adanya situasi negara yang buruk di masa mereka hidup. Sehingga bagi mereka, negara atau penguasa yang kuat diperlukan untuk mengatasi peperangan yang terjadi waktu itu.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. John Locke (1632-1704) mengemukakan, kekuasaan raja harus dibatasi oleh suatu “leges fundamentalis”.

Namun perlu dicatat bahwa perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, di antaranya:

1) Reformasi;

2) Renaissance;

3) Hukum Kodrat;

4) Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung). (Theo Huijber, 1995: 57).

Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya negara hukum.

Di Inggris, perlawanan masyarakat terhadap negara (Monarchi Absolutis) telah lama berjalan (sebelum John Locke menuliskan teorinya tentang negara dan hukum dalam buku “Two treatises of civil government”, 1690) terjelma dalam pertikaian terus menerus antara “King dan Parliament”, yang melahirkan piagam-piagam di mana diakui hak-hak asasi bangsa Inggris, yaitu:

1) Magna Charta (1215);

2) Petition of Rights (1628);

3) Habeas Corpus Act (1679);

4) Bill of Rights (1689).

Pada umumnya kemenangan ada di pihak masyarakat, monarki absolut tidak dapat berkembang, sedangkan Parlemen langkah demi langkah membesarkan pengaruhnya. Dalam karya Locke muncul beberapa prinsip hukum yang berlaku dalam negara hukum modern, yakni asas yang ada hubungannya dengan organisasi negara hukum. (Theo Huijber, 1995: 79-83).

Di Prancis, dipelopori antara lain Charles Louis de Scondat, Baron de La Brede et de La Montesquieu (1688-1775) dan Jean Jacques Rousseau (1746-1827), Renaissance dan Reformasi berkembang dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi manusia di Perancis itu memuncak dalam revolusi Perancis pada tahun 1789, yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam “Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen”, yang pada tahun itu ditetapkan oleh “Assemblee National” Prancis, dan pada tahun berikutnya dimasukkan ke dalam Constitution. Sedangkan di Amerika Serikat sebelumnya, yaitu pada tanggal 4 Juli 1776 sudah dirumuskan dalam “Declaration of Independent”. Dengan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka kekuasaan absolut dari raja lama kelamaan semakin susut dan bersama-sama dengan itu kebutuhan akan negara hukum makin mantap. (Theo Huijber, 1995: 87-93).

Pada babak sejarah kini, sulit untuk membayangkan negara tidak sebagai negara hukum. Setiap Negara yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI setidaknya secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan. Budiono Kusumohamidjojo, 2004: 36-37)
Lebih lanjut para ahli yang menganut faham kedaulatan berpendapat bahwa hukum bukanlah semata-mata apa yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum (dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumberkan perasaan hukum anggota-anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta hukum. negara hanya memberi bentuk pada perasaan ini. Hanya apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum, (F Isjwara, 1974: 99).
Hugo Krabbe sebagai salah seorang ahli yang mempelopori aliran ini berpendapat bahwa negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat) dan setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan pada hukum. Kalau diperhatikan lebih jauh ke belakang, konsep kedaulatan yang didasarkan pada hukum ini adalah suatu reaksi atas prinsip ajaran kedaulatan negara. Menurut teori kedaulatan negara, segala sesuatu dijalankan dalam setiap kebijaksanaan negara, karena negara diberi kekuasaan yang tidak terbatas. Para penganut paham ini beranggapan bahwa hukum tidak lain dari kemauan negara itu sendiri yang dikonkretkan. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli menganggap bahwa paham kedaulatan negara tidak sesuai dengan kenyataan.

Pada akhirnya berpaling ke supremasi hukum sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Aliran ini lebih memperhatikan realitas dengan menyataan-kenyataan sejarah. Bahkan lebih ekstrim lagi kita melihat prinsip negara dan hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen (1881-1973) yang mengatakan bahwa pada hahekatnya negara adalah identik dengan hukum, karena itu tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib negara.
Pandangan Hans Kelsen tersebut paling ekstrim di antara pengikut paham kedaulatan hukum. Bahkan beranggapan bahwa negara semata-mata konstruksi hukum belaka, karena itu Kelsen mendapat kritikan-kritikan yang tidak henti-hentinya dari ahli-ahli lain, terutama dari para sosiolog, karena ia dianggap anti sosiologi. Hans Kelsen dianggap meremehkan peranan dan manfaat sosiologi di dalam penelaahannya mengenai negara. Disadari bahwa negara bukanlah semata-mata menjadi objek hukum sendiri atau negara tidak mutlak identik dengan hukum seperti pendapat Kelsen. Tetapi selain ilmu hukum, masih banyak disiplin ilmu lain yang menjadikan negara sebagai objek pembahasan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu politik, ilmu pemerintahan, sosiologi danilmu lainnya.

Meskipun ide tentang negara hukum telah lama diungkapkan oleh para ahli, namun dipandang dari segi penggunaan istilah “negara hukum”, istilah tersebut baru mulai tampil dalam abad XIX seperti yang dikembangkan Albert Venn Dicey dengan konsep negara hukum Rule of Law di negara Anglo Saxon, dan Frederich Julius Stahl dengan konsep negara hukum Rectsstaats di negara Eropa Continental.

 

C. Unsur-unsur Negara Hukum

Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesquieu dan lainnya, masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad XIX, yaitu dengan munculnya konsep rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang negara hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, (1949: 383), dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah negara hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang negara hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad XVII. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris. (O. Notohamidjojo, 1970: 21).

Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominasi oleh absolutisme raja, (Padmo Wahjono, 1989: 30; Philipus M. Hadjon, 1972). Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl, (Miriam Budiardjo, 1998: 57). Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system, (Philipus M. Hadjon, 1972: 72). Konsepsi negara hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats. (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74).

Friedrich Julius Stahl dalam karyanya Staat and Rechtslehre II, (1878: 37), mengkalimatkan pengertian negara hukum, sebagai berikut: “Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong perkembangan pada zaman baru. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya, bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlaq dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh dari seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.” (O. Notohamidjojo, 1970: 24)
Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu: (Miriam Budiardjo, 1998: 57-58).

1) Perlindungan hak-hak asasi manusia;

2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);

3) Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of law) yang dikembangkan oleh Albert Venn Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut.
1) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power);


2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.

3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar dalam abad ke XX di Nedherland, menulis tentang negara hukum (Over den Rechtsstaats, 1935, lihat Verzamelde Gessriften deel I, h.382-394). Paul Scholten menyebut dua ciri negara hukum, yang kemudian diuraikan secara luas dan kritis. Ciri utama negara hukum, ialah “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini meliputi dua segi:
1) Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak di luar wewenang negara;

2) Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan undang-undang, dengan peraturan umum.

Ciri yang kedua negara hukum menurut Paul Scholten: “er is scheiding van machten”, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan, (O. Notohamidjojo, 1970: 25). Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas hukum ialah adanya: (A. Hamid S. Attamimi, 1990: 312)

1) Hak-hak asasi manusia;

2) Pembagian kekuasaan;

3) Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum;

4) Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);


5) Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan) kekuasaan umum;

6) Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

7) Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.

Dalam bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution, Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of law: pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua, persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama, tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya, (A.V. Dicey, 1952: 202-203).
Di Indonesia istilah negara hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur: (Abdul Latief, 2005: 20).

1) Pemerintahan dilakukan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) di mana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-undang;

2) Dalam negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa yang bersangkutan;

3) Kekuasaan pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan tersebut;

4) Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.

Munculnya “unsur peradilan administrasi dalam perselisihan” pada konsep rechsstaat menunjukan adanya hubungan historis antara negara hukum Eropa Kontinental dengan hukum Romawi. Philipus M. Hadjon menberikan pendapat, bahwa konsep rechsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep Rule Of Law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan Karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasi kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengkata. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem continental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administraf“ dan inti dari “droit administraf” adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat, di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi), (Philipus M. Hadjon, 1972).

Dalam perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di antaranya: (Ridwan HR, 2006: 4).

1) Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;

2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-undangan;

3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

5) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;

6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;

7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Perumusan unsur-unsur negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang menempatkan individu atau warga negara sebagai primus inter pares dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat membatasi kekuasaan negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagium yang begitu popular dari Lord Acton, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolute) pasti akan disalahgunakan).


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Atmosudirjo, Prajudi, 1995, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI.

Azhary, M. Tahir, 1992, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang.
Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dicey, A.V., 1952, Introduction to Study of The Law of The Constitution, Ninth Edition, ST. Martin’s Street, London: Macmillan And Co, Limited.

Hadjon, Philipus M., 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu.
Huijber, Theo, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius.
Isjwara, F., 1974, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Bina Cipta.

Kranenburg, R, 1955, Ilmu Negara Umum, terjemah Tk. B. Sabaroedin, Jakarta: J.B. Wolters-Groningen.
Kusnardi, Moh., 1988, dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti.

Kusumohamidjojo, Budiono, 2004, Filsafat Hukum: Problemtika Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo.

Latief, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII Press.