Senin, 15 Februari 2010

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM NEGARA KESATUAN

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA

Oleh
Tofan Adiaksa

Demokrasi dan Keberadaan Negara: Sebuah Pendahuluan
Realitas kepolitikan Orde Baru yang ditandai dengan besarnya peranan pemerintah dalam menentukan jalannya negara dan keterlibatannya dalam berbagai sektor masyarakat, telah menimbulkan minimal dua tanggapan. Pertama, tanggapan yang mempertanyakan relevansi realitas tersebut dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu prinsip hidup bernegara yang fundamental. Tanggapan ini seakan menggugat kenyataan bahwa peranan negara yang begitu besar dan yang pada batas tertentu telah menghambat aspirasi dan partisipasi dari bawah adalah realitas yang agaknya kurang menguntungkan bagi pelaksanaan demokrasi dan perlu diambil langkah-langkah konstruktif. Kedua, tanggapan yang mencoba menjelaskan atau memberi pijakan teoritis atas realitas kepolitikan yang menunjukkan dominasi peran negara itu. Pada tanggapan yang kedua ini telah dimunculkan bermacam-macam pendekatan seperti patrimonialisme, pasca-kolonial, beamtenstaat, politik birokratis, rezim birokratis otoritarian, strategi korporatisme, sampai pada pembahasan kembali staatsidee integralisitik yang dulu pernah dicetuskan oleh Prof. Soepomo di dalam sidang BPUPKI.
Diakui atau tidak, dalam konteks keindonesiaan, peran negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara memegang peranan penting. Pada era Orde Baru misalnya, cengkraman negara begitu kuat dalam masyarakat. Negara ikut campur dalam segala hal masalah ekonomi, politik dan sosial rakyat. Disatu sisi, memang negara mempunyai tanggung jawab (state responsibility) untuk mengendalikan dan memberdayakan rakyatnya agar tidak terjadi kesengsaraan dan penderitaan. Namun, di sisi lain, peran negara ini kadang disalahgunakan sebagai bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Negara menerapkan aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh rakyat, yang peraturan itu hanya menguntungkan sebagian kecil dari apa yang disebut sebagai “rakyat”.

Beberapa ahli mendefinisikan berbeda tentang negara. Roger H. Soltau menuliskan: “Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat (The state is an agency or authority managing or controling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community). Harold J. Laski mengatakan: “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society).
Max Weber berujar: “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory). Robert M. MacIver menyatakan: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).
Miriam Budiarjo menyimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Abraham Amos lebih menegaskan arti sebuah negara menjadi dua, negara dalam arti objektif dan negara dalam arti subjektif. Negara dalam arti objektif berarti segala sesuatu yang menyangkut ruang lingkup kedaulatan suatu kelompok komunitas masyarakat, dimana didalamnya terdapat strukutur kehidupan sosial atas kehendak organ masyarakat pada suatu wilayah tertentu; dengan tujuan menjalankan segala bentuk aktivitas hidupnya. Sedangkan negara dalam arti subjektif diartikan dengan adanya sekelompok komunitas manusia yang menghendaki suatu bentuk teritorial kedaulatan, yang kemudian dibentuk semacam konsensus atau kontrak sosial. Kontrak sosial itu tak lain ialah mufakat bersama dengan tujuan untuk membentuk wilayah kedaulatan sesuai kehendak komunitas dan memiliki seorang pimpinan komunitas sosial.
Negara bukan sekadar sekumpulan keluarga belaka atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antara perkumpulan suka rela yang diizinkan keberadaannya oleh negara. Dalam suatu komunitas politik yang diorganisir secara tepat, keberadaan negara adalah untuk masyarakat dan bukan masyarakat yang ada untuk negara. Pasalnya, keberadaan negara bermula dari perkembangan manusia (rakyat) yang kompleks dengan segala permasalahannya sehingga dibutuhkan adanya sebuah organisasi yang dilengkapi kekuasaan, disepakati bersama oleh rakyat tersebut, dan berfungsi menyelesaikan perselisihan untuk mengatur dan menciptakan ketentraman serta kedamaian dalam hubungan kemasyarakatan.
Logikanya, jika misalnya, keadaan rakyat dengan segala kompleks permasalahannya telah tentram dan damai maka rakyat tidak memerlukan adanya organisasi kekuasaan lagi. Dengan kata lain, bisa saja organisasi kekuasaan tersebut dibubarkan keberadaannya oleh rakyat. Akan tetapi, logika ini mungkin akan sangat sulit terealisasi karena kompleksitas permasalahan rakyat selalu ada seiring dengan berkembangnya kepentingan manusia. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa negara boleh menerapkan represifitas terhadap rakyat, karena hakekatnya keberadaan negara adalah untuk rakyat bukan rakyat yang ada untuk negara.
Keberadaan negara menjelma dalam sistem penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh tiga lembaga kekuasaan negara. Yakni lembaga legislatif (sebagai pembuat undang-undang), lembaga eksekutif (yang menjalankan undang-undang) dan lembaga yudikatif (pengadil terhadap pelanggaran atas undang-undang). Lembaga-lembaga kekuasaan negara ini menjalankan fungsinya dengan prinsip demokrasi (penyelenggaraan negara dari, oleh, dan untuk rakyat).
Biarpun prinsip demokrasi baru lahir pada akhir abad-19 mencapai wujudnya yang kongkrit, tetapi ia sebenarnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad-15 dan abad-16. Demokrasi abad-19 mengutamakan beberapa asas yang dengan susah diraihnya, misalnya kebebasan rakyat dari segala macam bentuk kekangan, dari kekangan kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam rangka ini posisi keberadaan negara hanya sebagai “penjaga malam” (Nachtwachtersstaat), yang hanya boleh ikut campur dalam kompleksitas permasalahan rakyat dalam batas-batas tertentu. Pada perkembangannya, keberadaan negara—khususnya setelah Perang Dunia II—tidak sebatas hanya sebagai penjaga malam. Negara harus turut bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan ekonomi warga negaranya. Gagasan ini dituangkan dalam konsep Welfare State (negara kesejahteraan) atau Social Service State.
Beriringan dengan tanggung jawab negara dalam gagasan Welfare State (negara kesejahteraan), timbul berbagai macam jalur demokrasi untuk menuju demokrasi yang modern. Setidaknya Mahfud MD mencatat ada tiga jalur menuju demokrasi modern, yakni: pertama, jalur revolusi borjuis yang ditandai dengan kapitalisme dan parlementarisme (misalnya, di Prancis dan Inggris). Kedua, jalur revolusi kapitalis dan reaksioner yang berpuncak pada facisme (misalnya di Jerman) dan ketiga, jalur revolusi petani. Seperti yang terlihat pada rute komunis yang sampai tahap tertentu disokong oleh kaum buruh (seperti Rusia dan Cina).
Bagaimana dengan demokrasi modern di republik ini? Selama 32 tahun lebih (1966-1998) pada era Orde Baru, negara ini mengalami masa pengelabuan sejarah. Demokrasi dalam arti sebenarnya berjalan ditempat. Semua kendali berada ditangan pemerintah. Represifitas dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menjadi kebiasaan, yang setiap orang “dipaksa” untuk mengakui keberadaan serta kebenarannya sebagai bentuk menjaga stabilitas negara. Keadaan yang seperti ini mengalami klimaksnya dengan ditandai turunannya Presiden Orde Baru yang digulingkan oleh kesatuan demontrasi aksi mahasiswa selaku kelompok penekan (pressure group) dan kelompok oposisi (opposition group) pada peristiwa tanggal 13-21 Mei 1998. era baru pun dimulai, yakni disebut dengan Orde Reformasi.
Orde Reformasi mengamanatkan agar demokrasi dikembalikan ke arti semula. Kedaulatan rakyat dikembalikan kepada rakyat dan negara harus mengusung kedaulatan tersebut menurut konstitusi (Undang-Undang Dasar). Ternyata dari sini bisa dilihat bahwa demokrasi modern di Indonesia dipakai dengan jalur yang berbeda dengan tiga jalur sebelumnya. Demokrasi modern di Indonesia ditapaki dengan jalur reformasi sosial.

Arti dan Prinsip Negara Hukum
Telah jelas bahwa apabila negara dikendalikan oleh kekuasaan yang korup maka akan menimbulkan kesengsaraan. Oleh karenanya, perlu diadakan suatu kontrol dan aturan yang dapat mengendalikan negara. Sejak zaman city-state (negara kota) di era Yunani kuno, keberadaan negara dikontrol melalui aturan yang disepakati bersama oleh rakyat Yunani. Norma (nomos) mengendalikan kekuasaan (cratos) negara. Maka Yunani telah sejak dulu mengenal adanya nomokrasi, yakni kekuasaan negara yang dikendalikan oleh norma/aturan.
Ide nomokrasi ini identik dengan konsep kedaulatan hukum, bahwa hukum memegang peranan tertinggi dalam kekuasaan negara, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma/aturan/hukum. Sesungguhnya yang dianggap sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan negara adalah norma/aturan/hukum itu sendiri. Dalam perkembangannya, kedaulatan hukum menjelma menjadi konsep negara hukum.
Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law.
Selain itu, negara hukum juga dapat dibagi ke dalam negara hukum formil (demokrasi abad XIX) dan negara hukum materil (demokrasi abad XX). Peran pemerintahan dalam negara hukum formil dibatasi. Artinya, pemerintah (negara) hanya menjadi pelaksana segala keinginan rakyat yang dirumuskan para wakilnya di parlemen. Karena sitanya yang pasif ini, maka negara diperkenalkan sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam).
Negara hukum materil (demokrasi abad XX) mengamanatkan peran bahwa peran negara tidak hanya sebatas penjaga malam, tetapi negara juga harus ikut bertanggung jawab dan ikut campur dalam menciptakan kesejahteraan rakyat.
A.V. Dicey menguraikan tentang negara hukum (The Rule of Law) lewat pengalaman de Tocqueville, seorang Perancis yang mengamati konstitusi Inggris, yang kemudian dipaparkan melalui tiga makna, yakni: pertama, Supremasi dan superioritas hukum reguler (Supremacy of Law) yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena munculnya kesewenang-wenangan tersebut.
Kedua, The Rule of Law juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh mahkamah umum (Equality Before The Law). Ketiga, seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, namun ia tidak dapat dihukum karena alasan lain (Due Procces of Law) atau dengan kata lain, dalam negara hukum pasti berlaku asas legalitas.
Para Sarjana Eropa Kontinental—yang diwakili oleh Julius Stahl—menuliskan prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
International Comission of Jurists pada konfrensinya di Bangkok (1965) juga menekankan prinsip-prinsip negara hukum yang seharusnya dianut oleh sebuah negara hukum, yaitu:
1. Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan
6. Pendidikan kewarganegaraan.
Jimly Ashshiddiqie menuliskan kembali prinsip-prinsip negara hukum dengan menggabungkan pendapat dari sarjana-sarjana Anglo-Saxon dengan sarjana-sarjana Eropa Kontinental. Menurutnya dalam negara hukum pada arti yang sebenarnya, harus memuat dua belas prinsip, yakni:
1. Supremasi Hukum (Suprermacy of Law).
Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakekatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi, The Rule of Law and not of man.
2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law).
Setiap orang berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Sikap diskrimatif dilarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang disebut affirmative action, yakni tindakan yang mendorong dan mempercepat kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan, sehingga mencapai perkembangan yang lebih maju dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang telah lebih maju.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law).
Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Setiap perbuatan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedurs (regels). Namun, disamping prinsip ini ada asas frijsermessen yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri beleid-regels atau policy rules yang berlaku secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan kekuasaan.
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisahkan kekuasaan ke cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain.
Dapat juga dilakukan pembatasan dengan cara membagikan kekuasaan negara secara vertikal, dengan begitu kekuasaan negara tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi yang bisa menimbulkan kesewenang-wenangan. Akhirnya falsafah power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutly bisa dihindari.
5. Organ-organ eksekutif independen.
Independensi lembaga atau organ-organ dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Misalnya, tentara harus independen agar fungsinya sebagai pemegang senjata tidak disalahgunakan untuk menumpas aspirasi pro-demokrasi.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Namun demikian, hakim harus tetap terbuka dalam pemeriksaan perkara dan menghayati nilai-nilai keadilan dalam menjatuhkan putusan.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan administrasi negara ini juga menjadi penjamin bagi rakyat agar tidak di zalimi oleh negara melalui keputusan pejabat administrasi negara.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court).
Pentingnya Constitutional Court adalah dalam upaya untuk memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisahkan untuk menjamin demokrasi.
9. Perlindungan hak asasi manusia.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat).
Negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap negara demokratis harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum. Jadi negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah negara hukum yang absolut (absolute rechtsstaat) melainkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat).
Sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan bernegara Indonesia dalam rangka melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak pada rule-driven, melainkan mission driven, tetapi mission driven yang didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan kontrol sosial.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung.
Singkatnya, negara berdasarkan hukum (negara hukum) secara esensi bermakna hukum adalah “supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk dan patuh pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law). Semuanya ada di bawah hukum (under the law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (missuse of power). Hukum dan prinsip-prinsipnya harus menjadi panglima dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.

Negara Kesatuan Republik Indonesia
Strong mendefinisikan negara kesatuan sebagai sebuah negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. Lebih lanjut Strong menyatakan bahwa sebuah negara kesatuan setidaknya mempunyai dua sifat penting yakni (i) supremasi parlemen pusat dan (ii) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan.
Supremasi parlemen pusat dimaknai bahwa dalam negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif yang selalu memegang kekuasaan tertinggi secara absolut. Sifat ini membedakannya dengan paham dalam negara federal yang lembaga legislatifnya ada dua—lembaga legislatif federal dan lembaga legislatif negara bagian—satu lembaga untuk setiap bidang wewenangnya sendiri dan tidak berkuasa secara universal.
Tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan diartikan sebagai tidak adanya otoritas lain selain otoritas tertinggi. Jika otoritas pusat membawahi otoritas-otoritas lain yang menjadikannya tidak berdaya untuk turut campur dengan proses perundang-undangan biasa (selain yang ditetapkan dalam konstitusi), maka otoritas pusat itu adalah otoritas federal. Apabila otoritas pusat membawahi otoritas-otoritas lain yang dapat dibuat atau dihapuskan menurut kehendaknya, maka otoritas itu adalah otoritas tertinggi dan negara dengan batas-batas otoritas tak terbatas ini disebut dengan negara kesatuan.
Di Indonesia, konstitusi pra-amandemen maupun konstitusi pasca-amandemen telah jelas menyatakan bahwa negara ini adalah negara kesatuan. Dalam Pasal 1 ayat (1) ditulis: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik.” Paham negara kesatuan Indonesia dipaparkan oleh Soepomo dengan paham integralistik (penyatuan/kesatuan) atau lebih dikenal dengan staatsidee Integralistik yang disampaikan di depan sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945.
Menurut Soepomo, dari berbagai aliran yang diterapkan ke dalam negara maka aliran nasional-sosialis—persatuan antara pemimpin dan rakyat serta persatuan dalam negara seluruhnya—merupakan aliran yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Soepomo menyatakan:
“Manusia sebagai seorang tidak terpisah dari seseorang lain dari dunia lain, golongan-golongan manusia, malah segala golongan mahluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut, segala sesuatu berpengaruh-mempengaruhi dan kehidupan bersangkut-paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berujud pula dalam susunan tata negaranya yang asli….bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik…..”

Negara kesatuan yang diperkenalkan oleh Soepomo, dalam perubahan kontitusi—hingga perubahan keempat—tetap dipertahankan. Pasal 1 ayat (1) tidak dirubah. Negara persatuan/negara kesatuan menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan keberadaan NKRI ini menjadi keharusan. Barang siapa ingin merubah NKRI berarti dia melawan konstitusi.
Dalam penjelasan UUD pra-amandemen, pada bab II. “pokok-pokok pikiran dalam “pembukaan” dinyatakan:
“…..Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa dan seluruhnya. ….Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya, inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.”

Negara Hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD NRI 1945: Catatan Akhir
Pada tulisan sebelumnya telah didapatkan kesimpulan bahwa negara hukum adalah sebuah negara yang menjadikan hukum sebagai panglima dalam penyelanggaraan negara. Tentunya maksud hukum sebagai panglima tersebut diterapkan melalui pelaksaanaan prinsip-prinsip negara hukum. Pada ranah lain, negara kesatuan—dengan mengutip tulisan Strong—diartikan dengan penyelenggaraan negara harus di organisir dari pemerintah pusat. Strong selanjutnya menuliskan bahwa negara kesatuan tersebut harus memiliki sifat (i) supremasi parlemen pusat dan (ii) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan. Di Indonesia, konsep negara kesatuan di perkenalkan oleh Soepomo dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945.
Penulis melihat ada kemiripan konsep negara kesatuan yang ditulis oleh Strong dengan konsep yang ditawarkan oleh Soepomo. Keduanya telah diakomodir dalam UUD pra-amandemen, dengan implementasi bahwa Indonesia memiliki MPR yang menjadi lembaga tertinggi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat secara penuh. Pasal 1 ayat (2) UUD pra-amandemen mengatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini mensuratkan bahwa kedaulatan negara ini ada ditangan rakyat dan yang mempunyai wewenang penuh untuk melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut adalah MPR. Mungkin konsep seperti ini yang dibicarakan oleh Strong dengan “supremasi parlemen pusat.”
Keberadaan dewan perwakilan (DPRD) di daerah pun harus tunduk pada majelis tertinggi. Dewan perwakilan di daerah tidak punya kuasa untuk membuat kebijakannya sendiri. Kebijakan yang dijalankan haruslah berasal dari pemerintah pusat. Mungkin pula konsep seperti ini yang dinyatakan oleh Strong dengan “tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan”.
Namun kenyataannya, konsep negara kesatuan yang diterapkan di Indonesia sebelum perubahan UUD tidak mengakomodir prinsip negara hukum dalam arti sebenarnya. MPR yang kekuasaannya berasal dari kedaulatan rakyat, dimainkan sedemikian rupa oleh Presiden sehingga hampir 32 tahun (1966-1998) penyelenggaraan negara menabrak prinsip-prinsip negara hukum.
Beberapa contoh misalnya, Prinsip supremacy of law tidak dijalankan. Kekuasaan berada penuh ditangan Presiden, yang terjadi bukanlah hukum yang menjadi panglima, tetapi Presidenlah yang menjadi panglima. sektor ekonomi digenjot begitu rupa untuk “pembangunan”. Kaum pemodal baik asing maupun dalam negeri diundang untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Regulasi dimuluskan oleh Presiden dan para kroninya guna mendukung usaha “pembangunan” ini. Banyaknya investasi yang ditanam menjadi lahan basah untuk menggarap pohon korupsi. Pundi-pundi korupsi yang ditumpuk oleh oknum pejabat negara makin berlimpah dan merajalela. Diakui atau tidak, kenyataannya Presiden (penguasa) “memuluskan” jalan korupsi para oknum ini, dan parahnya hukum tidak bisa menjangkau mereka. Pada titik ini The Rule of Law and not of man tidak berjalan.
Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) juga tidak berlaku. Para pejabat negara yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme jarang bisa dijerat dengan hukum. Mereka aman berlindung dibawah ketiak penguasa (Presiden). Jerat hukum hanya bisa menjangkau kaum tidak berpunya (the not have society). Orang yang hanya mencuri ayam untuk dijual kembali—karena tidak makan seharian—akan dikurung atau bahkan, apabila psikologi masyarakat lagi panas, dibakar tanpa ampun. Bagi orang kecil, dekil dan miskin, perjuangan untuk mencari sesuap nasi di republik ini bagaikan menanam duri dalam samudra, sulit dan butuh pengorbanan yang sangat. Jerat hukum tidak bisa menjangkau kaum berpunya (the have society). Oknum yang korupsi hingga milyaran rupiah, bebas bertolak-pinggang dan keluar-masuk negara ini tanpa takut akan ditangkap oleh penegak hukum. Equality before the law hanyalah angan-angan semua yang berada di menara gading.
Asas legalitas (due process of law) menjadi mimpi diatas mimpi. Jarang sekali menjadi nyata. Penguasa mnggunakan pasal-pasal penyebar kebencian, Pasal 154, 154a, 155, 156, 156a. 157, dan 160 KUHP/hartzai artikelen, untuk membungkam aktivis pro-demokrasi. Tindakan subversif adalah alasan yang paling sering ditujukan kepada mereka yang menanyakan keadilan, demokrasi dan semacamnya secara terang-terangan. Pemberlakuan kekuatan militer (tentara) untuk menumpas kelompok yang dianggap “para gerombolan” dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di beberapa daerah seakan menjadi pembenaran. Parahnya lagi, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang sedikit vokal saja terhadap kebijakan pemerintah akan tinggal nama belaka. Mereka hilang (dihilangkan) sampai-sampai kuburnya pun tidak diketahui dimana letaknya.
Lalu bagaimanakah penerapan negara hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca-amandemen (UUD NRI 1945)? beberapa pasal dirubah melalui proses amandemen, akibatnya substansi penyelenggaraan negara pun berubah. Namun, negara ini tetap menjadi Negara Kesatuan. Beberapa pasal yang dirubah tersebut misalnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat.” menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Udanng Dasar.”
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 itu adalah sign bahwa negara ini akan menjadikan hukum sebagai panglima, karena penyelanggaraan kekuasaan negara haruslah didasarkan atas hukum (UUD), tidak lagi dipegang penuh oleh Majelis Permusyawaratan.
Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) pun semakin diperkuat. Sebelumnya, jaminan HAM hanya diakomodir dengan pasal 28 saja. Sekarang jaminan terhadap HAM diakomodir pada pasal 28, 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, dan 28I UUD NRI 1945. Rakyat dijamin hak-haknya. Dengan akomodasi pasal-pasal HAM ini, harapan untuk menciptakan equality before the law dan due process of law dapat tumbuh dalam langgam bahasa hati rakyat.
Dengan demikian, seperti di ungkapkan oleh John Locke bahwa negara harus memegang kewajiban-kewajiban dalam bentuk (i) kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur nasib rakyat secara sembarangan; (ii) kekuasaan negara tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan yang matang; (iii) pemerintah tidak boleh mengambil atau merampas hak milik rakyat tanpa persetujuan; dan (iv) perundang-undangan harus menjamin agar kekuasaan politik digunakan bagi kepentingan umum akan terealisasi dalam koridor NKRI.
Terlepas dalam perjalanannya nanti, apakah konsep negara hukum dapat terus dijaga dan dilestarikan dalam NKRI atau tidak, setidaknya pada saat ini prinsip negara hukum telah bisa dimasukkan dalam konstitusi. Dan selanjutnya dijalankan oleh lembaga kekuasaan penyelenggara negara, karena hakekatnya kedaulatan ada ditangan rakyat dan negara ini adalah milik rakyat bukan penguasa.

DAFTAR BACAAN

Amos, H.F. Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Indonesia dari Orla, Orba Sampai Reformasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2005. Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Jakarta: Konstitusi Press
Dicey, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi (terj). Bandung: Penerbit Nusamedia.
Ghaffar, Affan. 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indoensia: Studi tentang Interaksi Politik dam Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta
Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press
MPR-RI. 2002. Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekjen MPR-RI
Nurtjahjo, Hendra. 2005. Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soemardjan, Selo (ed). 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia
Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj.) Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusamedia
Wheare, K.C. 2003. Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Pustaka Evreka
Widjojanto, Bambang, Saldi Isra, Marwan Mas (ed). 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen. Jakarta: Pustaka Harapan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar